Si Brengsek Itu Menghamiliku

“Kalau kamu lanjut sendiri kayak gitu tiap pagi, gue bisa ambil kursi dan nonton tiap hari.”

Suara Reymond. Datar. Santai. Penuh tawa. Aku menjerit dan menarik selimut sampai ke kepala.

“REYMOND SIALAN!! LO NGINTIP!!!” Si Brengsek itu hanya tertawa keras dari balik pintu.

“Kalau lo udah puas, kopinya udah gue siapin. Tapi kalo belum puas… gue masih di dapur. Nggak pakai baju.”

Brengsek. Dan gawatnya... Aku mulai suka dibangunkan dengan cara kayak gini. (Hal 77-78)

***

Aku cuma mau hidup tenang. Kos kecil, kuliah lancar, dan tidak harus mendengar suara orang ngentot dari kamar sebelah setiap malam.

Lalu datanglah dia—tetangga baru yang doyan nyetel musik keras, bawa cewek gonta-ganti, dan senyumnya selalu ngajak ribut. Atau ngajak telanjang. Sulit dibedakan.

Kami saling benci. Saling ejek. Tapi saat aku masuk kamar mandinya tanpa sengaja, melihat dia berdiri telanjang dengan batangnya setengah bangun... tubuhku mulai bicara lain. Dan malam demi malam, aku makin susah tidur bukan karena bisingnya, tapi karena bayangannya.

Aku pikir itu cuma main-main. Pelepas stres. Tapi saat dua garis merah muncul di testpack dan perutku mulai terasa hangat, aku sadar satu hal: kontol sialan itu ternyata lebih dari sekadar mimpi basah.

"Si Brengsek Itu Menghamiliku" bukan cuma cerita tentang seks liar dan adu mulut panas. Ini tentang bagaimana dosa bisa berubah jadi rumah. Dan bagaimana satu tusukan bisa menancap bukan cuma di antara paha… tapi juga di hati.