Gigolo Pertamaku

“Jangan mikirin itu, Mira. Nikmati aja.”

Tapi nadanya goyah, seperti dia juga bertanya-tanya.

Perbedaan usia mulai terasa—Mira, 35, eksekutif mapan; Ryan, 23, mahasiswa yang berjuang. Aku bertanya-tanya, apakah dia melihatku sebagai wanita, atau hanya klien tua yang haus seks? Rangga dulu mencintaiku, meski singkat, tapi Ryan? Dia memegang tanganku lagi, terlalu lembut, dan berkata, “Kamu bikin aku hampir lupa batas profesionalisme.” (Hal 58-59)

***

Malam di Jakarta selalu menyimpan rahasia, dan di balik lampu-lampu neon Senopati, aku, Mira, menemukan hasrat yang selama ini kubungkam. Delapan bulan lalu, di sebuah kafe mewah, tawa sahabatku Lina membawa sebuah nama—seorang pria yang mereka panggil “rahasia,” seorang gigolo yang bisa membuat tubuh bernyanyi dan jiwa lupa dunia. Aku, eksekutif 35 tahun yang hidup untuk rapat dan laporan, tertawa menolak, tapi nomor itu kini ada di ponselku, seperti bara yang menunggu untuk membakar. Apa yang mendorongku, wanita yang tak percaya cinta, untuk melangkah ke dunia yang selama ini kuhindari? Dan mengapa nama itu terus bergema, seperti lagu yang tak bisa kulupain?

Dia bernama Ryan, muda, dengan mata yang seperti pisau dan senyum yang mencuri napas. Malam pertama kami di sebuah hotel di Thamrin adalah tarian canggung antara hasrat dan keraguan, tubuhku menjerit di bawah sentuhannya, tapi pikiranku bertanya, Apakah ini hanya transaksi? Setiap pertemuan membuatku tenggelam lebih dalam—ranjang yang berderit, napas yang tersengal, dan momen-momen ketika dia seolah melupakan perannya sebagai gigolo. Tapi di balik karismanya, ada rahasia: buku skripsi di tasnya, cerita tentang stres kuliah, dan tatapan yang terlalu lembut untuk sekadar klien. Siapa Ryan sebenarnya, dan mengapa aku merasa dia lebih dari yang dia akui?

Jakarta menyaksikan malam-malamku berubah, dari apartemenku di Kuningan hingga vila mewah di Pantai Indah Kapuk, di mana hasrat kami menjadi tarian tanpa batas. Tapi bayang-bayang cemburu mengintai—sahabatku Lina, dengan senyum licik, berbisik tentang Ryan, tentang wanita lain yang merasakan sentuhannya. Aku ingin percaya aku berbeda, bahwa tangannya yang memetakan tubuhku membawa makna lebih, tapi stigma sosial dan kenangan Rangga, cinta pertamaku yang mendefinisikan kepuasan, terus menghantui. Bisakah aku menyerahkan hati pada pria yang hidup dari malam, atau akankah hasrat ini hanya meninggalkan luka?

Setiap sentuhan Ryan seperti janji, tapi setiap kepergiannya adalah pengingat: dia gigolo, dan aku klien. Namun, ada momen—ketika dia bercerita tentang skripsinya, ketika tangannya memegangku terlalu lama—yang membuatku bertanya, apakah dia juga merasakan getar yang sama? Delapan bulan adalah waktu yang singkat, tapi cukup untuk mengubahku, untuk membuka pintu yang selama ini kututup. Tapi di balik gemerlap Jakarta, ada batas yang dia junjung, batas yang aku ingin langgar. Apa yang terjadi ketika seorang wanita seperti aku, yang tak pernah percaya cinta, mulai memimpikan sesuatu yang lebih dari seorang gigolo?

Sekarang, berdiri di balkon apartemenku, menatap lampu-lampu Jakarta yang tak pernah padam, aku merenungi perjalanan ini—gigolo pertamaku, pria yang membawaku ke puncak hasrat dan lembah keraguan. Dia datang seperti badai, lalu pergi seperti angin, meninggalkanku dengan pelajaran yang tak pernah kucari. Apakah aku menemukan cinta, atau hanya nafsu yang kugenggam erat? Dan ketika malam kembali memanggil, akankah aku berani melangkah lagi, atau menyimpan rahasia ini sebagai bagian dari diriku yang baru? Gigolo Pertamaku bukan hanya kisah tentang malam-malam yang membara, tapi tentang seorang wanita yang belajar mencintai dirinya sendiri di tengah dosa-dosa kota.