NADIRA: Luka Hati Seorang Istri

Tangis gadis itu pun pecah setelah sang ayah mengembuskan napas terakhir. Nadira meraung, menangis sejadi-jadinya sembari mendekap tubuh dingin ayahnya. Sesekali, tangannya menggoyang pelan tubuh kurus pucat pasi itu dan meminta sang ayah untuk bangun kembali.

“Bangun, Pak! Dira sama siapa, kalau Bapak pergi? Dira tak punya siapa-siapa selain Bapak!”

Gadis itu terus meraung. Ketakutan akan nasibnya di masa depan jika tanpa kehadiran sang ayah yang merupakan satu-satunya orang tua yang dia miliki, membuat Nadira terus menangis di dada ayahnya yang terbujur kaku.

Seorang lelaki seusia ayah Nadira yang sedari tadi memperhatikan gadis itu, tak kuasa membendung air matanya melihat kesedihan putri sang sahabat yang baru saja ditinggal oleh orang tercinta. Pak Wijaya namanya. Dia adalah sahabat lama ayah Nadira. Laki-laki paruh baya itu lalu mendekati Nadira dan memeluk gadis yang masih menangis tersebut, mencoba memberikan ketenangan.

“Sudah, Nak. Jangan tangisi bapakmu seperti ini. Kasihan. Langkahnya pasti akan berat jika kamu tidak bisa mengikhlaskan kepergiannya.”

Pak Wijaya terus menasehati. Dia usap-usap puncak kepala gadis itu, penuh rasa sayang. Lambat laun, suara tangis Nadira semakin lemah, lalu terhenti. Meninggalkan isakan kecil yang sesekali masih terdengar.

Setelah Nadira tenang, Pak Wijaya kemudian bergerak cepat mengurus kepulangan jenazah ayah Nadira dari rumah sakit. Pak Wijaya mengurus pula pemakaman dan segala keperluannya. Laki-laki itu juga selalu setia menemani dan menghibur Nadira yang kini sebatang kara hingga hari ketujuh kematian sahabat terbaiknya.

“Dira, kamu dengar sendiri, kan, Nak, permintaan terakhir bapak kamu agar Om membawamu pulang ke Jakarta? Ayolah, Nak! Om tidak mungkin pulang sendiri tanpa kamu, Dira,” bujuk Pak Wijaya tepat setelah tujuh hari ayah Nadira meninggal dunia.