Novel ini lahir dari percakapan panjang antara luka dan harapan. Ia berangkat dari kegelisahan saya saat melihat bagaimana sebagian tubuh dan jiwa dianggap tidak pantas hadir di ruang-ruang suci, bagaimana keberagaman yang nyata malah dianggap ancaman bagi kemurnian norma. Dari situ, saya tahu: ada kisah yang harus dituliskan. Bukan demi menyalahkan siapa pun, tapi untuk menghadirkan keberanian yang bisa dibagikan.
Novel Tuhan dalam Diri Interseks adalah perjalanan fiksi yang sangat personal. Ia tidak bicara soal tokoh besar atau peristiwa revolusioner. Ia berbicara tentang satu sosok yang selama ini dianggap sunyi. Ia lahir dari banyak kisah nyata yang hadir dalam kerja intelektual dan pengabdian sosial saya—kisah-kisah mereka yang hidup dalam tubuh yang sulit dipahami, jiwa yang tak muat dalam kategori, dan iman yang diuji bukan oleh dosa, melainkan oleh stigma.
Novel ini saya tulis untuk siapa saja yang pernah merasa “berbeda.” Untuk mereka yang mencari Tuhan, tapi menemukan tembok-tembok tinggi lebih dulu. Untuk para pendidik yang ingin melihat muridnya lebih dari sekadar angka dan identitas formal. Untuk para pemuka agama yang berani mengakui bahwa tafsir juga harus punya ruang untuk kasih sayang. Dan untuk orang tua yang sedang bingung mencintai anaknya tanpa tahu harus mulai dari mana.
Saya tidak menjanjikan jawaban. Novel ini bukan tuntunan, tapi undangan. Undangan untuk berpikir ulang: apakah kita sudah cukup adil dalam menilai seseorang hanya dari bentuk tubuh atau cerita hidupnya? Apakah kita sudah cukup rendah hati untuk mengakui bahwa ilmu pengetahuan bisa menjadi jembatan bagi keimanan, bukan ancaman? Dan apakah kita sudah memberi ruang bagi mereka yang identitasnya tidak mudah dijelaskan, tetapi keberadaannya nyata?
Saya menggunakan pendekatan yang naratif, deskriptif, dan reflektif dalam menulis buku ini. Saya membiarkan karakter-karakternya tumbuh di dalam ruang yang jujur, tanpa tergesa-gesa. Saya menolak menyederhanakan konflik mereka hanya menjadi drama atau sensasi. Saya ingin pembaca merasakan perjalanannya—ketakutannya, keyakinannya yang retak, hingga akhirnya keberaniannya untuk berdiri, meski dunia belum siap menerimanya.
Novel ini menggunakan fiksi sebagai medium, tapi saya harap ia terasa lebih dari sekadar cerita. Saya ingin ia seperti cermin kecil yang—jika Anda berani menatapnya—mungkin akan memperlihatkan sisi kemanusiaan yang selama ini Anda sembunyikan dari diri sendiri.
Kepada para pembaca muda, saya ingin Anda tahu bahwa keraguan bukanlah kelemahan. Ia adalah langkah awal dari iman yang dewasa. Kepada para pembaca dewasa, saya ingin mengajak Anda untuk mendengarkan kembali—bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati yang rela ditantang.
Saya menulis dengan kasih, tapi tidak dengan kompromi. Karena saya percaya, mencintai umat berarti juga mencintai kompleksitas mereka. Dan dalam kompleksitas itulah, kita bisa benar-benar melihat wajah Tuhan—bukan yang digambarkan secara seragam, tapi yang hadir dalam keberagaman ciptaan-Nya.
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Agung Webe, mentor dalam kelas menulis novel yang telah membuka ruang belajar yang hangat dan penuh dorongan. Beliau bukan hanya membimbing dalam aspek teknis penulisan, tetapi juga mengajak saya dan peserta lainnya untuk menggali lebih dalam: apa yang benar-benar ingin kita sampaikan lewat cerita kita. Ketelatenannya dalam mengajak kami berpikir, menyusun ulang, dan berdamai dengan proses kreatif telah meninggalkan jejak yang tak ringan. Semoga semangat beliau untuk terus menyalakan lilin-lilin kecil dalam dunia kepenulisan bisa menginspirasi lebih banyak orang, seperti halnya beliau telah menginspirasi saya.
Selamat membaca. Semoga buku ini tidak hanya menemani Anda menelusuri kisah Faizah, tetapi juga membantu Anda menemukan kisah Anda sendiri—dalam bentuk yang mungkin belum pernah Anda akui sebelumnya.
Salam,
Jamal Syarif
Ketika saya menulis Tuhan dalam Diri Interseks, saya tahu saya sedang menyalakan lentera kecil di lorong yang gelap. Saya tahu tidak semua pembaca akan setuju, tidak semua ruang akan membuka diri. Tapi saya percaya: kisah yang lahir dari luka dan cinta akan selalu menemukan jalannya sendiri.
Saya tidak menulis kisah ini untuk menciptakan kontroversi. Saya menulis karena saya yakin: agama dan kasih sayang tak pernah diciptakan untuk memisahkan, tetapi untuk mendekatkan.
Jika kisah ini membuat Anda berpikir ulang tentang batas-batas yang selama ini dianggap mutlak, maka biarkan ruang tanya itu hidup. Karena dalam ruang tanya itulah, kita mungkin akan bertemu Tuhan yang lebih luas dari yang pernah kita bayangkan.
Terima kasih telah membaca.
Dan semoga Anda juga menemukan Tuhan dalam diri Anda sendiri.
Salam hangat,
Jamal Syarif