Anda sudah bekerja keras puluhan tahun, meniti karier dari bawah, setia pada satu perusahaan hingga pensiun. Kerja keras adalah ibadah, loyalitas adalah kehormatan. Itulah prinsip yang membangun keluarga dan masa depan yang stabil.
Tapi sekarang Anda melihat anak dan cucu dengan bingung. Mereka dengan enteng meninggalkan pekerjaan "mapan" yang sudah Anda impikan. Lebih memilih jadi freelancer, content creator, atau malah resign tanpa pekerjaan pengganti. Bicara soal work-life balance, me time, dan berbagai istilah yang terdengar asing.
"Anak zaman sekarang manja," keluh Anda. "Tidak tahu susahnya hidup."
Padahal, mereka tidak malas. Mereka justru sedang mendefinisikan ulang apa itu sukses dan bahagia. Bagi generasi baru, bekerja bukanlah untuk hidup, tapi hidup yang membutuhkan pekerjaan sebagai salah satu komponennya.
Paradigma ini lahir dari realitas yang berbeda. Mereka tumbuh melihat orang tua yang stress, burnout, bahkan sakit karena terlalu fokus pada karier. Mereka menyaksikan PHK massal di era pandemi, membuktikan bahwa loyalitas tidak selalu dibalas keamanan kerja.
Sebagai bagian dari generasi sandwich yang menjembatani dua dunia kerja yang berbeda, saya merasa perlu menjelaskan fenomena ini dengan sudut pandang yang adil dan empati.
Bekerja untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Bekerja adalah upaya saya membantu generasi senior memahami mengapa anak-anak muda memilih jalur karier yang tampak "tidak masuk akal". Dari gig economy hingga digital nomad, dari passion project hingga mental health awareness.
Buku ini bukan untuk membenarkan siapa yang benar atau salah, tapi untuk membangun jembatan pemahaman. Agar Anda tidak lagi cemas dengan pilihan mereka, melainkan dapat mendukung perjalanan unik generasi baru dalam menemukan makna kehidupan.
Seorang edukator partikelir dan pengembang aplikasi berbasis web milenial yang senantiasa berupaya menjembatani pemahaman antara generasi analog dan digital.
Ia merintis penerbitan independen Buku Faedah untuk menyajikan literatur murah dan berfaedah bagi wong cilik.