Pagi itu, saya berjalan menyusuri alun-alun Demak sebelum matahari benar-benar muncul. Udara dingin, wangi tanah dan embun bercampur dengan aroma kopi tubruk dan nasi bungkus. Di pojok masjid, para ibu keluar dari pawestren—ada yang bergandengan tangan dengan pasangannya, ada yang berjalan sendiri, pulang ke rumah yang mungkin masih gelap dan sepi.
Lalu di sudut lain, saya melihat perempuan yang sedang menggelar dagangan: nasi kuning, nasi uduk, kopi hitam. Untuk siapa? Untuk mereka yang tak sempat sarapan, atau yang terlalu lelah pulang kerja malam. Bahkan di sisi timur alun-alun, perempuan lain masih sibuk melayani pembeli—mungkin para penjaja seks yang baru selesai shift-nya, atau petugas kebersihan yang mulai harinya saat orang lain masih berselimut.
Pemandangan-pemandangan ini yang kemudian saya tuliskan dalam buku Perempuan-Perempuan yang Menyusun Kota. Esai-esai ini bukan hanya tentang ruang kota, tapi tentang tubuh, keberanian, dan ketahanan. Tentang bagaimana perempuan bekerja—baik secara harfiah maupun simbolik—untuk menjaga kehidupan kota tetap berdenyut.
Ini adalah buku tentang yang tak terlihat. Tentang mereka yang tidak disebut. Tapi justru merekalah yang menyusun kota, dengan cara paling jujur dan paling manusiawi.
Jika kamu ingin membaca kota dari arah yang berbeda, dengan mata yang lebih lembut dan hati yang lebih terbuka—barangkali buku ini bisa jadi temanmu.
Selamat membaca.
Menulis dari ruang-ruang yang tak dinamai, dari sela-sela trotoar yang sering luput dalam peta kota. Arsitek, sastrawan, dan penggiat literasi, Dian percaya bahwa tubuh perempuan adalah bagian dari lanskap kota yang paling jujur. Ia menyusuri jalanan subuh, mushola kecil di pasar, sudut penjara yang lembab, hingga warung kopi 24 jam—bukan sekadar sebagai pengamat, tapi sebagai bagian dari denyut yang sering diabaikan.
Karya-karyanya menjembatani antara ruang dan rasa, antara struktur fisik dan fragmen emosi. Ia tidak hanya merancang bangunan, tapi juga membangun narasi: tentang ketimpangan, keberanian, dan kerentanan. Di antara batu bata dan sajadah, antara nasi bungkus dan tikungan jalan, ia menemukan puisi-puisi perempuan yang tak sempat dituliskan.
Dian adalah pendiri sejumlah inisiatif literasi dan arsitektur inklusif, serta aktif dalam riset-riset interdisipliner yang menjembatani ruang, spiritualitas, gender, dan budaya lokal. Buku ini adalah salah satu ikhtiar kecilnya untuk menuliskan ulang kota—agar lebih ramah bagi semua tubuh, terutama tubuh-tubuh yang telah terlalu lama dibisukan.