-> -> bit.ly/andini-citras <- <-
*
Keunggulan Ebook ini:
- Halaman Asli, tersedia header dengan judul bab
- Baca dengan keras, Menjadi audio book dengan dibacakan mesin berbahasa Indonesia
- Teks Mengalir, menyesuaikan ukuran layar
- Ukuran font dan jarak antar baris kalimat bisa diperbesar atau perkecil sesuai selera
- Bisa ganti jenis font
- Warna kertas/background bisa diubah menjadi Putih, Krem, dan Hitam
----------
Penasaran . . .! Kata Hilda dan Emi kalau menginap di rumah Anis suka diganggu adiknya. Kata mereka yang pernah tidur di sana, adik Anis itu suka menggerayangi, bahkan memperkosanya. Wah, gawat!
Malam ini aku ingin coba coba menginap di rumah Anis. Penasaran . . .! Seperti apa sih, tampang adiknya yang aneh itu.
Kutunggu Anis yang lagi piket malam. Tak seberapa lama kemudian, diapun keluar menghampiriku. “Kau belum pulang, Laras? Sudah jam sebelas malam, lho?” kata Anis kepadaku. “Hari ini aku tak dapat pintu, Nis. Mau nginap di rumahmu saja?” kataku. “O, ya . . . yang betul?” Sambutnya kurang percaya. “Betul Nis, aku serius lho?” Karena memang dari banyak kawan-kawan yang bekerja di Kompeksi ini hanya akulah yang belum pernah menginap di rumahnya.
Sebenarnya rumah Anis tidak jauh dari rumahku. Tetapi aku penasaran rasanya seperti apa sih, di kutak kutik oleh lelaki. Kami sudah sampai di rumah Anis.
Di teras duduk seorang lelaki sedang asyik main guitar sendirian. “Belum tidur kau, Rinto . . . .?” sapa Anis. “Belum, mbak .. belum ngantuk!” “Siapa itu, Nis?” tanyaku. “Adikku satu satunya, Laras. Bandelnya minta ampun!” “Akh, anak lelaki itu bandel biasa, Nis!”
Aku pura pura tidak menaruh perhatian pada kata kata Anis mengenai tingkah laku adiknya.
Bagiku, justru menyenangkan sekali dekat dengan anak yang suka usil seperti Rinto ini.
Anis membuat kopi panas untukku, tapi tidak segera kuminum. Karena kulihat Rinto mengintipku dari balik jendela kaca, maka sengaja pahaku kubuka agak lebar lebar. Nah, rasakan nafsu ’nggak lhu anak bandel!
Tiba tiba Anis datang dengan membawa kue kue di piring. “Ayo di minum kopinya . . obat ngantuk Laras?” ujarnya kepadaku. “Tapi mataku sudah tidak tahan, Nis. Percuma minum kopi. Karena aku memang tidak biasa tidur terlalu malam . . .?” ujarku pura-pura. Padahal biasa semalaman suntuk bersetubuh di kamar. “O ya. Kalau begitu cepatlah tidur Laras nanti kamu sakit!” seru Anis.
Saat yang kutunggu tunggu telah tiba. Kamarku sengaja tak kukunci. Sedang Anis tidur di kamarnya sendiri.
Lampu kamar sengaja tak kupadamkan agar Rinto dapat jelas memandangi pahaku yang putih dan mulus ini sengaja kubuka lebar.
Mataku pura-pura kupejamkan. Kudengar pintu kamar didorong seseorang dari luar. Dalam hatiku . . siapa lagi kalau bukan Rinto.
Pucuk dicinta ulampun tiba. Benar juga kata Hilda dan Emi. Rinto mulai menarik celana dalamku ke bawah. Kubuka mataku lebar lebar mengawasi ulahnya. “Haaah!” aku pura pura terperanjat. tiba tiba Rinto mengeluarkan pisau lipat dan meletakan diperutku. Akkh, matilah aku? jangan jangan ia ingin membunuhku. “Diam . . jangan banyak bicara kalau tidak mau, pisau ini akan merobek perutmu, Laras!” ancamnya. “Ampuuun, aku jangan dibunuh!”.....
Contents
Menginap dirumah Anis—1
Bersama Dino—27
Bersama Edy—47